Media Coverage from Berita Satu – 9 July, 2020
Jakarta, Beritasatu.com– Pandemi Covid-19 memberikan tantangan tersendiri dalam penanganan terorisme secara global. Situasi pandemi mengharuskan orang lebih terisolasi dan berinteraksi secara daring, sehingga menjadi peluang lebih besar bagi kelompok teroris untuk mengintensifkan propaganda mereka yang sering kali disampaikan lewat media sosial.
Hal itu terangkum dalam diskusi virtual yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Kamis (9/7), bertajuk Keeping Up the Fight Against Terrorism during the Covid-19 Crisis (Menjaga Perlawanan terhadap Terorisme selama Krisis Covid-19) dengan salah satu narasumber Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar.
Boy mengakui pandemi Covid-19 semakin mengaktifkan kelompok terorisme. Hal itu didukung data dari Densus 88 Polri yaitu sepanjang 2009, Densus berhasil menangkap sekitar 300 tersangka teroris, sedangkan pada 2020 (sampai Juli), jumlah tersangka teroris yang berhasil ditangkap sudah sekitar 100 orang.
“Pertama, Covid-19 menekankan aturan propaganda mendasar untuk kelompok ekstrimis dengan skenario mereka. Kedua, orang berada di rumah dan tetap online menjadi kesempatan bagi ekstremis untuk proses rekrutmen,” kata Boy.
Propaganda
Senada dengan itu, Kepala Institut Filipina untuk Penelitian Perdamaian, Kekerasan, dan Terorisme Rommel C Banlaoi, pandemi Covid-19 juga meningkatkan propaganda terorisme oleh kelompok pro-ISIS di Filipina Selatan. Di sisi lain, pandemi memicu kesulitan ekonomi di kalangan militan Islam Bangsamoro.
“Rekrutmen teroris bukan hanya ideologi, tapi juga bujukan materi bagi mereka yang ingin melawan dalam nama Allah,” kata Rommel.
Menurutnya, narasi rekrutmen yang berlandaskan ideologi, yaitu perjuangan mengatasnamakan Allah, bisa semakin intensif disebarkan secara daring selama pandemi. “Propaganda disebarkan di media sosial khususnya sekarang saat semua orang memakai media sosial untuk saling berhubungan. Ini tren yang terjadi di Filipina,” kata Rommel.
Direktur Eksekutif Institut untuk Perlindungan dan Advokasi Konstitusional Universitas Georgetown, Amerika Serikat (AS), Joshua A. Geltzer, mengatakan situasi Covid-19 telah meningkatkan ancaman terorisme karena warga dirancang untuk menarik diri, menghabiskan lebih banyak waktu sendirian, dan bersosialisasi lewat internet. Perspektif terorisme yang berkembang di AS saat ini berasal dari supremasi kulit putih.
“Lebih banyak waktu untuk mengkonsumsi materi propaganda dan konspirasi yang sengaja disebarkan kelompok (terorisme) untuk merekrut atau melakukan radikalisasi. Saya khawatir ini akan semakin cepat karena tren yang sudah berbahaya dari terorisme kulit putih di AS,” katanya.